MK Hapus Ambang Batas 20 Persen, Era Baru Kontestasi Politik Indonesia Dimulai

MAHKAMAH Konstitusi (MK) resmi memutuskan untuk menghapus aturan ambang batas atau presidential threshold sebagai syarat pengusungan calon presiden dan wakil presiden. Keputusan ini menandai era baru dalam demokrasi Indonesia, di mana partai politik memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mencalonkan pasangan calon tanpa dibatasi persentase perolehan kursi atau suara.

Dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025), Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa aturan ambang batas minimal presidential threshold 20 persen cenderung menguntungkan partai politik besar dan mengurangi hak konstitusional masyarakat.

“Penentuan besaran atau persentase tersebut lebih menguntungkan partai politik besar. Ini berdampak pada terbatasnya alternatif pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden bagi masyarakat,” kata Saldi Isra.

Presidential Threshold Dihapus Demi Demokrasi Lebih Terbuka

Saldi menegaskan bahwa penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini bertujuan untuk menjamin hak politik warga negara. MK memandang bahwa aturan presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional melanggar prinsip keadilan, moralitas, dan rasionalitas yang diamanatkan oleh UUD 1945.

“Mahkamah memprioritaskan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam melalui kontestasi yang fair dan terbuka,” tambahnya.

MK juga menyebutkan bahwa keberadaan aturan tersebut selama ini berpotensi mengurangi jumlah pasangan calon yang berkompetisi. Bahkan, ada kemungkinan hanya satu pasangan calon yang maju dalam pemilu, sebagaimana yang pernah terjadi di beberapa pemilihan kepala daerah.

“Jika pengaturan ini terus dibiarkan, pemilu presiden berpotensi terjebak dengan calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong, yang tentu tidak ideal dalam sistem demokrasi,” jelas Saldi dikutip dari detikcom.

MK menegaskan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur ambang batas pencalonan presiden, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini memungkinkan semua partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa syarat minimal perolehan suara atau kursi.

“Pergeseran pendirian MK ini bukan hanya soal angka persentase, tetapi juga menyangkut prinsip dasar bahwa rezim presidential threshold, berapa pun besarnya, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” tegas Saldi Isra.

Menuju Pilpres Lebih Kompetitif

Penghapusan ambang batas ini diharapkan membuka peluang bagi lebih banyak kandidat untuk bersaing dalam pemilihan presiden mendatang. Dengan demikian, masyarakat memiliki lebih banyak alternatif pilihan yang mencerminkan aspirasi mereka.

Keputusan MK ini juga menjadi sinyal bagi partai politik untuk lebih inklusif dan kompetitif dalam mencalonkan kandidat terbaiknya, sehingga pemilu presiden dapat menjadi cerminan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.

Dengan penghapusan ambang batas capres ini, Indonesia memasuki era baru dalam politik. Tidak ada lagi dominasi partai besar dalam menentukan calon pemimpin bangsa. Semua partai politik, besar maupun kecil, kini memiliki peluang yang sama untuk berkontribusi dalam membangun demokrasi yang lebih inklusif.

Keputusan ini diharapkan membawa dampak positif bagi penguatan demokrasi Indonesia, sekaligus menjadi momen bersejarah yang mengakhiri era presidential threshold adalah hambatan bagi hak politik rakyat. (***)